Cerpen "Tahajjud Cinta di Langit Nurul Ilmi Part 2"

Cerpenku
Tahajjud Cinta di Langit Nurul Ilmi Part 2
Kategori         : Cerpen Cinta Islami
Penulis            : R Budianto
Tahajjud Cinta di Langit Nurul Ilmi

“Aku melihatmu pada hari itu. Hari dimana mataku terbelalak memandangi indah senyum-Mu. Pikirku tak mengenalmu, namun logika seakan mengajakku bermain dalam wahana penuh pertanyaan. Batin seakan bergejolak memaksa ingin mengenalmu lebih dari sebatas tatap sepintas. Setiap hari-serasa ingin kulewati bersama-Mu dalam dunia yang kusebut cinta. Ya Allah, jangan kau binasakan dunia dan akhiratku dalam sebuah kegelisahan yang tidak menentu ini. Ampunilah hamba-Mu, jika cinta ini kepada-Nya menutupi cintaku kepada-Mu.” Lirih bisikan suara Zein di sepertiga malam terakhir.
            Langit biru dihiasi Gumpalan-gumpalan awan putih mengiringi hadirnya mentari yang memancarkan kehangatan melalui cahayanya. Tetes air jatuh ke tanah dari rimbunnya dedaunan pohon. Pagi ini Zein akan berangkat bekerja sebagai Guru di salah satu Madrasah Aliyah di sebuah perkotaan kecil.
“Bismilaahi tawakkaltu ‘alallahi wa laa hawla wa laa quwwata illaa billaahi.” Itu hal yang sudah menjadi kebiasaan Zein saat ingin keluar rumah dan memulai aktivitasnya.
Beberapa orang sudah mulai beranjak dari rumah mereka dan melakukan aktivitas sehari-hari. Zein berjalan dipinggiran trotoar sejurus dengan para orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Para orang tua dan anak-anak sekilas melemparkan senyum kepada Zein yang dibalas kembali oleh Zein dengan senyuman tipis di bibirnya. Ia selalu berjalan menuju sekolah tempatnya mengajar, itu karena jarak dari rumah kesekolah hanya berkisar kurang lebih seratus meter. Zein menengok ke jam tangannya yang sebentar lagi menunjukkan pukul tujuh seperlima menit. Ia bergegas menuju gerbang sekolah yang sudah berada diseberang jalan tempat ia berjalan dan langsung menuju ruang guru terlebih dahulu untuk mengambil beberapa keperluan mengajar di mejanya, setelah itu ia langsung bergegas ke kelas dua A tempat ia mengajar hari ini dan kebetulan ia adalah wali kelas di kelas tersebut.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh dan selamat pagi untuk kita semua” Zein sudah berdiri didepan kelas sembari mebuka suasana kelas yang masih terlihat hening.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi pak guru” Seru para siswa seakan menambah hangatnya suasana pagi.
“Silahkan naikkan tugas yang telah saya berikan kemarin. Apa ada dari kalian yang belum mengerjakannya?” Zein sambil membuka tas yang berisi buku-buku agama dan sebuah Al-Qur’an berukuran kecil.
“Saya pak.” Tiga orang mengacungkan tangannya keatas, dua wanita dan satu pria.
“Baiklah kalian, bertiga silahkan kalian keluar dari kelas ini.” tampa basa-basi Zein langsung menyerukan kepada mereka untuk meninggalkan ruangan kelas.
“Ta..tapphi.. pak!”
“Saya tidak akan mengulangi perkataan saya kembali, silahkan keluar segera.” Tegas Zein sambil menatap ketiga orang tersebut.
            Mereka bertiga kemudian bangkit dari kursi dan menuju ke pintu kelas. Setelah mereka semua keluar dan sudah hilang dari balik pintu, Zein bangkit dari bangkunya dan menuju ke arah pintu sambil memanggil mereka kembali.
“Kalian silahkan masuk kembali.” Ucap Zein.
Seluruh siswa dan siswi nampak kebingungan dengan tingkah laku Zein. Maklum saja Zein adalah guru baru disekolah tersebut dan langsung ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai Wali Kelas dua A.
“Saya memang punya amanat untuk mengeluarkan kalian yang tidak mengerjakan tugas sesuai dengan peraturan yang ada disekolah ini dan saya sudah laksankan itu. Tetapi saya juga punya hak untuk membagikan ilmu yang saya miliki, kepada kalian semua yang ingin menerima ilmu yang saya ketahui dari mata pelajaran ini.” Seluruh Siswa dan Siswi yang ada dalam ruangan hanya bisa terdiam dan tampak takjub dengan perkataan bijak dari Zein. Setelah itu Zein, memulai pelajaran dengan membahas tugas yang telah diberikan kepada seluruh Siswa dan Siswi kelas dua A.
            Tak terasa satu jam telah berlalu, bunyi lonceng pertanda istirahat telah berbunyi. Zein merapikan semua perlengkapannya dan mengakhiri pelajaran hari ini dengan ucapan salam. Setelah  ini, Zein akan menuju ke toko buku untuk mecari sebuah buku pelajaran yang ia butuhkan.  Redup cahaya di petala langit. Awan hitam pekat hadir dilangit membungkus seluruh kota. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Terlihat orang-orang mulai berlari, berlindung dari rinai hujan, terlihat juga beberapa orang mulai mengembangkan payung.
“Ini memamang sudah masuk musim kawin,” kata pria separuh baya yang berdiri di halte bus disamping Zein sambil melihat kearah jalanan yang terlihat hening. Tersisa beberapa motor dan mobil yang nekat menerobos derasnya hujan. Setengah jam sudah Zein menghabiskan waktu berdiri di halte tersebut. Hingga derasnya hujan mulai reda. Beberapa orang mulai melanjutkan perjalanan. Zein pun juga kembali melanjutkan perjalanannya ke toko buku. Awan masih mendung, angin sepoi-sepoi berhembus menerpa setiap orang yang berada di jalannya.
            Ditengah perjalanan, tepat di depan toko buku yang dituju Zein, ia melihat seorang wanita yang nampak tidak asing baginya. Wanita itu sedang sibuk merapikan buku-bukunya yang terjatuh. Wajah itu mengingatkan Zein dengan kenangan yang pernah hadir dalam kehidupannya dahulu.
“Itukan Zahra.” Gumam Zein dalam hati.
            Yah itu Zahra, wanita yang pernah menjadi bidadari dalam hati Zein. Namun itu dahulu tidak dengan sekarang. Ia berjalan menghampiri Zahra dan mulai menyapa dengan nada lembut dan sopan.
“Assalamu’alaikum Zahra.” Ucap Zein dengan senyum terbaik hari ini.
“Wa’alaikumussalam. Eh?” Zahra yang mengangkat kepalanya dan melihat Zein, pria yang pernah mencintainya tepat berada di depannya sontak kaget.
Hening beberapa saat, sampai Zein kembali membuka percakapan.
“Apa yang kamu lakukan disini? Sudah lama yah kita tidak ketemu lagi!” Senyum zein nampak masih menggambarkan luka yang pernah di goreskan Zahra pada hatinya.
“Iii..iyyah, aku tadi mampir beli buku didalam.” Jawab Zahra.
“Oh.. gitu, kamu lagi buru-buru?” Tanya Zein
“Nggak kok, kenapa?”
“Kamu mau nggak nemenin aku, nyari buku?” Zein yang mulai meminta kepada Zahra agar menemaninya mencari buku.
“Iya boleh.” Zahra tersenyum manis kepada Zein
            Separuh hari Zein dan Zahra menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan. Dibawah gerimis hujan, tersenyum, saling tertawa mengenang masa-masa SMA mereka. Semenjak lululs, mereka mulai berpisah, Zahra mendaptkan beasiswa dari sekolah tinggi di Kairo Mesir sedangkan Zein melanjutkan studinya di luar kota. Mereka terpisah jarak yang sangat jauh, sampai Zahra memeutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Menurutnya cinta akan menuntun seseorang ke jalan sejati menuju keridhoan Allah. Lagi pula orang tua Zahra melarang Zahra dekat dengan Zein. Zein mencoba menerima kenyataan ini. ia terus menjadi pribadi yang lebih baik dan perlahan mulai mengerti dengan perkataan Zahra.
            Lampu kota mulai memancarkan hiasnya, berwarna-warni menambah indahnya suasana malam kota ini. Selesai ibadah shalat maghrib di rumahnya. Zein bersiap untuk berjumpa dengan Gadis yang membuat ia menjadi pribadi yang utuh lagi. Itu Shuvi, hari ini adalah hari dimana ia punya janji dengannya di Alun-alun kota. Zein datang lebih awal dari waktu yang telah di tentukan. Ini sudah satu tahun semenjak ia mengenalnya. Pertemuan yang tak disangka-sangka di masjid dekat rumah Zein. Ia selalu mengabadikan cerita yang dilewatinya dalam sebuah tulisan kecil. Dan hari ini Zein akan memberikan tulisan kecil tersebut kepada Shuvi, tepat pada hari yang sama saat pertama kali mereka bertemu. Cukup lama Zein menunggu, sampai akhirnya Shuvi datang menghampiri Zein.
“Assalamu’alaikum.” Suara lembut itu terdengar ke telinga Zein.
“Wa’alaikumussalam. Shuvi!” Ucap Zein, hari ini Shuvi cantik sekali, ibararat bidadari yang turun dari Surga, pakaian yang begitu sopan dipandang mata, kain pentup kepala menjadi penghalang dari perbuatan dosa.
“Kamu udah lama?” Shuvi yang tertunduk malu melihat Zein dihadapannya.
“Nggak kok.Aku juga belum lama disini.” Jawab Zein.
“Em.. Alhamdulillah.” Sesekali mata Shivu memandangi wajah Zein namun masih saja tertunduk malu jika menatapnya.
“Ada hal yang ingin kukatakan padamu.” Ucap Zein dengan serius melihat mata Shuvi.
“Mengatakan apa?” Shuvi yang juga mulai menatap mata Zein.
“Tapi aku, apa yang ingin aku katakana sudah tertulis dalam surat ini.” Zein mengacungkan sebuah surat kepada Shuvi, sebuah kertas yang sudah terbungkus rapi dalam amplop putih.
“ini apa?” Tanya Shuvi kembali dengan penuh penasaran dan meraih amplop tersebut dari tangan Zein.
“Aku ingin kamu ngebaca surat ini setelah hari penamatan hafalan QS. Ar-Rahman di masjid Nurul Ilmi, aku akan berada disana diantara mereka yang juga ikut penamatan, semoga kamu hadir disana. Mm.. Aku harus pergi dulu yah, soalnya aku harus kerumah Abdul ada janji dengannya. Assalamu’ alaikum.” Zein berjalan pergi meninggalkan Shuvi yang masih nampak penasaran dengan surat yang di berikan oleh Zein.
“Wa’alaikumussalam.” Shuvi terdiam sambil memandangi Zein yang sudah hilang di tengah riuk keramaian orang-orang yang ada di alun-alun kota.
Zein langsung menuju ke rumah Abdul, dengan menaiki angkutan umum yang melewati rumah Abdul. Sebelas menit waktu yang diperlukan untuk menuju kesana. Zein turun dari angkutan umum dan langsung mengetuk rumah Abdul.
“Assalamu’alaikum, Abdul.” Ucap Zen sambil mengetuk pintu rumah Abdul
“Wa’alaikumussalam.” Terdengar ucapan salam dari dalam rumah.
“Eh.., Zein, mari masuk.” Abdul yang membuka pintu dan langsung mempersilahkan Zein masuk ke dalam rumah.
Zein langsung duduk di atas sofa du ruang tamu Abdul. Terasa sedikit sepi rumah Abdul karena ibunya sedang keluar kota.
“Abdul, surat itu sudah aku berikan kepada Shuvi.” Tanpa basa-basi Zein langsung membuka pembicaraan.
“Ha.. serius kamu Zein? Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?” Abdul menyeringai.
“Ia Abdul aku sudah yakin dengan apa yang aku lakukan. Ini sudah saatnya, aku juga sudah yakin dengannya. Jika dia memang adalah jodoh yang terbaik yang dikirim Allah untukku aku akan menemuinya diujung pencarianku. Aku ingin mengikatnya dalam kata halal.”
“Hmm… kalau itu memang keputusanmu sudah bulat, maka lakukanlah. Apa yang terbaik untuk, itu juga yang terbaik untukku. Kau adalah sahabatku Zein yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Aku akan selalu mendukungmu.” Abdul tersenyum kepada Zein, tampak berkaca-kaca mata Abdul seperti ingin meneteskan air dari matanya.
Hari mulai menua, cahaya putih mulai memancarkan kilaunya, gemerlap bintang hadir ditengah-tengah bulan. Malam ini, sudah malam ke sekian semenjak surat dari Zein berpindah tangan ke Shuvi. “Esok sudah waktunya, semoga saja kau hadir dalam acara itu dan kemudian kau akan membaca separuh hati yang ku tuangkan melalui surat itu. Semoga Allah me-Rahmati langkah kita.” Ucap Zein dalam Tahajjud di sepertiga malam berikutnya. Tahajjud Cintanya dengan Allah dan kamu akan mejadi perantara dari penyempurna Cintaku kepada-Nya.

 

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Cerpen "Tahajjud Cinta di Langit Nurul Ilmi Part 2""