Kategori : Cerpen Cinta
Penulis : R Budianto
Gelap yang mulai menyelimuti separuh dunia. Rinai hujan yang jatuh berbulir-bulir membuat hati setiap penikmatnya terasa sejuk seperti anugerah bagi mereka yang sedang merasakan jatuh karena cinta. Kami mulai berteduh di salah satu emperan toko yang berada di persimpangan jalan. Melihat orang-orang yang ikut berlarian di bawah rintik hujan.
“Kita berteduh disini dulu yah?” aku yang mulai menepis-nepis ujung baju yang basah.
“Iya,” jawab Rara.
“Baju kamu nggak basah kan?” masih menepis baju sambil melihat wajah Rara yang terkena percikan air hujan.
“Nggak kok. Kamu sendiri bagaimana?” jawab Rara yang kembali bertanya.
“Entar juga kering sendiri,” jawabku.
Itulah hari pertama kami bertatap muka langsung. Diantara hujan yang seakan menjadi saksi dari arti sebuah pertemuan. Hari yang takkan pernah bisa untuk aku lupakan sampai kapanpun. Rara, gadis yang kukenal dari media sosial yang membuatku langsung jatuh hati dan ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Udara dingin mulai berganti dengan hangatnya mentari pagi bagai lembaran baru kehidupan yang muncul bersama pelangi selepas hujan semalam. Aku bersiap untuk menjalani aktivitas sehari-hari sebagai seorang mahasiswa.
“Woy, Riski! jangan ngelamun pagi-pagi,” suara yang tiba-tiba mengagetkanku seakan sudah tidak asing lagi bagiku, itu suara Zul sahabatku.
“Astaga!” ketusku dengan ekspresi kaget.
“Hahaha... sorry bro, abis kamu ngelamun terus setiap pagi. Kenapa sih kamu melamun pagi-pagi? Pasti lagi mikirin seseorang!” ucap Zul yang mulai menggodaku.
“Ah! kamu selalu saja mau tahu urusan orang, udah duduk sana sebentar lagi dosen mau masuk,” jawabku setengah kesal.
“Yelah, gitu aja nggak mau cerita. Yaudah nggak papa,” ucap Zul sambil berjalan menuju bangku tempat ia duduk.
Tidak terasa mentari mulai bergeser ke barat, tempat ia beristirahat. Langit mulai menua redup. Satu dua cahaya putih dilangit bermunculan. Udara dingin sekejap mulai menusuk tulang sumsum. Malam ini aku sudah janji dengan Rara untuk bertemu di salah satu Pasar Kuliner.
“Maaf ya Ra, aku telat. Kamu udah lama nunggu?” ucapku yang sedikit ngos-ngosan.
“Iya nggak papa. Aku juga baru datang kok,” jawab Rara dengan santai.
“Baguslah kalau gitu, kita langsung masuk aja ya?” kataku sambil mengajak Rara untuk mulai masuk ke acara Pasar Kuliner yang hanya diadakan setiap malam minggu saja.
“Iya,” ucap Rara.
Malam itu kami ikut larut dalam keramaian. Di tengah gemerlapnya lampu-lampu hias, kami menjajal satu persatu makanan yang ada di setiap kedai. Malam yang begitu berkesan bagiku, karena dapat melihat kembali senyum itu yang selalu dapat menenangkan hati siapa saja yang melihatnya. Mungkin anggapan jika Malaikat tak bersayap itu memang benar-benar ada. Buktinya dia bagai Malaikat yang selalu mampu menjaga kebahagiaan disenyum itu.
Tak terasa malam mulai larut. Kami mulai beranjak pulang dari tempat itu, jalanan mulai lengang. Aku memutuskan untuk mengantar Rara pulang kerumahnya.
“Aku antar kamu pulang yah?” ucapku sambil menyalakan mesin motor.
“Emangnya nggak merepotkan?” Rara balik bertanya sambil memegang tas berwarna silver yang ia gunakan.
“Sama sekali tidak kok, malahan aku sangat senang jika kamu mau dianterin. Lagian ini sudah larut malam nggak baik perempuan jalan sendirian,” jawabku sambil menyodorkan helm ke Rara.
“Baiklah kalau begitu,” Rara yang mulai naik ke atas motor.
“Makasih yah udah mau anterin aku,” ucap Rara di tengah perjalanan menuju rumahnya.
Aku hanya mengangguk. Tanpa berkata apapun. Bukan karena kehabisan kata-kata tapi semua ini seakan tidak dapat digambarkan hanya dengan segumpal kata.
‘Terima kasih untuk malam ini, Tuhan!’ aku berkata dalam hati dengan perasaan penuh bahagia.
Detik berganti menit, menit dirangkai jam, jam di hias hari. Aku dan Rara semakin dekat, begitu dekat hingga aku lupa jika perjalanan ini hanya sebatas persahabatan. Bodohnya aku, yang harus menikam rindu sendiri. Memendam dalam-dalam rasa itu yang hanya dapat tersimpan di secarik kertas.
“Kenapa kau melamun lagi Riski?” suara yang kembali memecah keheninganku, itu suara Zul.
“Eh? Zul, nggak apa-apa kok,” jawabku sambil mendengus.
“Yelah, aku sudah tau alasan kau sering melamun setiap hari, pasti ini gara-gara gadis yang bernama Rara itukan?” Tanya Zul sambil duduk di sebuah kursi yang ada di depan kamar kos kami.
“Kok kamu bisa tau sih?” Aku bertanya kembali dengan nada heran.
“Aku tau dari semua lembaran kertas yang kamu tulis,” jawab Zul sambil cengengesan.
“Terus, kamu liat kertasnya dari mana?” Tanyaku
“Yah.. di atas meja belajar kaulah. Sudahlah Riski kamu tidak perlu menutupinya dariku. Kamu memang lelaki penulis yang hebat sampai-sampai lembar tentang kisah gadis itu dan kau sudah seperti novel di atas meja kau, Sudahlah aku ngantuk mau tidur dulu,” ucap Zul sambil berjalan menuju kamar tidurnya.
Aku hanya terbelenggu diam tanpa berkutip. Menatap bintang-bintang yang berhiaskan di langit, di terpa angin malam yang kian menusuk. Memandangi bintang dan bulan yang seakan sedang bercengkrama membicarakanku.
Selalu seperti ini, menuliskan semua kisah cinta yang pernah aku lewati di selembar kertas. Hanya itu yang dapat aku lakukan untuk mengabadikan setiap detik dari kisah-kisah ini. Namun kali ini berbeda, semenjak aku mulai mengenal dia dari pernkenalan singkat di salah satu media sosial yang terus berlanjut sampai sekarang. Hingga aku dapat melihat dia secara langsung. Melihat bola mata yang begitu indah, dan senyum tipis di bibirnya laksana Mentari yang menghangatkan jiwa di pagi hari.
Kebahagiaan yang hanya dapat tertulis dalam sajak di secarik kertas. tanpa dapat mengungkapkan secara langsung. Bukan karena ketidakmampuan bibir ini untuk berucap, aku hanya tidak ingin merusak alur cerita yang sudah dituliskan Tuhan untukku. Semuanya hanya dapat kuabadikan dalam sebuah cerita yang kutulis dalam secarik kertas tentang kisah yang pernah ada.
Dear Rara
Kamu bagaikan malaikat yang di turunkan Tuhan untukku, yang selalu menuntunku di kala aku hilang arah. Penyemangat di saat ragaku lemah tak berdaya. Senyummu selalu mampu menemani hariku laksana mentari di pagi hari yang mampu menghangatkan jiwa-jiwa yang membeku dan bagai senja di sore hari yang mampu memberiku kedamaian yang hakiki.
Inginku bertanya setiap kali, tentang perasaan apa ini? Namun aku sendiri masih ragu mempertanyakan hal itu. Apakah aku harus memikul perasaan ini sendirian? Atau justru membaginya padamu? Aku belum mampu mengatakan ini semua kepadamu. Diriku hanya dapat menuliskan apa yang seharusnya kukatakan, pada selembar kertas. Tanpa satu orang pun yang tahu isi dari kertas ini.
Namun, jika suatu saat nanti kau menemukan kertas ini aku berharap masih berada di sampingmu dan menemani harimu, I LOVE YOU.
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen "Ada Cinta Di Secarik Kertas""
Post a Comment